A. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya,
baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat
dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SHALALLAHU ALAIHI WASSALAM dengan sahabat yang
bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SHALALLAHU
ALAIHI WASSALAM, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum
kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz
menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi,
“Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab,
“Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak
engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya
akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SHALALLAHU
ALAIHI WASSALAM menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah
mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid)
harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
- mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
- memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
- mengetahui soal-soal ijma
- menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun
hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang
telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SHALALLAHU ALAIHI WASSALAM
bersabda:
اِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ
وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ
( رواه البخارى و
مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim
dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar,
maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan
perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya
perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya
beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat
manusia. Dalam hal ini Rasulullah SHALALLAHU ALAIHI WASSALAM bersabda:
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat
menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh
imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah
wafat Rasulullah SHALALLAHU ALAIHI WASSALAM. Berpegang kepada hasil ijma’
diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah
SWT:
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman,
taatilah Allah dan rasulnya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk
taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin
pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi
salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu
yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti
sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada
hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.
Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman
keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi,
walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap
diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al
Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
- Dasar (dalil)
- Masalah yang akan diqiyaskan
- Hukum yang terdapat pada dalil
- Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
- Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
- Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
- Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
- Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
- Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
- Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
B. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
- Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa
- Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
- Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SHALALLAHU ALAIHI WASSALAM dalam sebuah haditsnya yang artinya: “ Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi) ”
- Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
- Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an,
hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan yaitu istihsan,
istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari
pengambilannya terdiri atas empat macam, yaitu :
- Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan kepada hukum itu.
Hukum seperti ini tetap, tidak
berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak
membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat
syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan
hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
- Hukum
yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum
itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
اَلْبَيْعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقاً
Dua orang yang jual beli boleh
memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah.
Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan atau
pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu semua kepala
atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS
Al Maidah : 6) Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih
karena semata-mata tidak membaca basmalah.
مَا اَنْهَرَ
الدَّ مَ وَ ذُ كِرَ اِسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Alat apapun yang dapat mengalirkan
darah dan disebutkan padanya nama Allah.
- Hukum
yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi
pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SHALALLAHU ALAIHI WASSALAM tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian. - Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya
No comments:
Post a Comment