BAB I
Pembahasan
A.
Isti’aarah Ashliyyah
Isti’arah
Asliyyah adalah isim yang
dijadikan isti’arahnya (musta’ar) berupa isim jamid.
تكون الاستعارة أصلية اذا كان الذي جرت فيه إسما جامد
Dalam sarah kitab Jauharul Maknun, bahwasannya Isti’arah
Asliyyah adalah:
ان كان المستعار إسم جنس فالاستعارة أصلية
“Apabila musta’arnya berupa isim jenis, maka
disebut Isti’arah Asliyyah”.
B.
Isti’aarah Taba’iyyah
Dalam Kitab Jauharul Maknun diterangkan bahwa majaz
isti’arah ditinjau dari segi lafaznya adalah :
و
اللفظ إن جنسا فقل أصلية # وتبعية لدى الوصفية
والفعل والحرف كحال الصوفى # ينطق أنه المنيب الموفى
“
Lafaz istiarah itu bila berupa isim jenis, isti’arahnya dinamakan isti’arah
asliyyah, dan apabila lafaznya berupa fi’il atau isim sifat
atau huruf, dinamakan isti’arah taba’iyyah, seperti: kelakuan
ahli tasawuf mengatakan, bahwa ia kembali ke Zat yang memenuhi kebutuhan ”.
C.
Pembagian Isti’aarah Ashliyyah dan Taba’iyyah
1.
Contoh-contoh
a.
Al-Mutanabbi
berkata dalam menyifati kalam:
يَمُجُّظَلاَمًافِى
نَهَارٍلِسَا نُهُ ۞ وَيَفْهَمُ عَمَّنْ
قَالَ مَالَيْسَ يَسْمَعُ
Lidah
pena itu meludahkan kegelapan di siang hari dan ia paham apa-apa yang dikatakan
seseorang tanpa melalui pendengaran.
b.
Ia
berkata ketika berbicara dengan Saifud-Daulah:
أُحِبُّكَ
يَا شَمْسَ الزَّمَانِوَبَدْرَهُ ۞
وَإِنْ لاَمَنِى
فِيْكَ السُّهَا وَالْفَرَاقِدُ
Aku
cinta kamu, wahai matahari dan bulan zaman ini, sekalipun bintang-bintang yang
samar dan yang jauh mencaci-makiku karena menyukaimu.
c.
Al-Ma’arri
bersyair dalam ratapannya:
فَتًى
عَشِقَتْهُ الْبَابِلِّيَةُ حِقْبَةً ۞
فَلَمْ يَشْفِهَامِنْهُ بِرَسْفٍ وَلاَلَشْمِ
Seorang
pemuda yang mencintai tuak Babil, di suatumasa kerinduannya tidak akan dapat disembuhkan oleh kecupan dan
ciuman.
d.
Allah
SWT. Berfirman:
$£Js9ur |Ms3y `tã ÓyqB Ü=Òtóø9$# xs{r& yy#uqø9F{$# ( Îûur $pkÉJyó¡èS Wèd ×puH÷quur tûïÏ%©#Ïj9 öNèd öNÍkÍh5tÏ9 tbqç7ydöt ÇÊÎÍÈ
Sesudah
amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luluh (taurat) itu; dan
dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut
kepada Tuhannya. (QS. Al-A’raf: 154)
e.
Al-Mutanabbi
berkata dalam menyifati singa:
وَرْدٌإِذَاوَرَدَالْبُحَيْرَةَشَارِبًا
۞ وَرَدَالْفُرَاتَزَئِيْرُهُوَالنِّيْلَا
Apabila
si merah itu datang ke danau (thabriyah) untuk minum, maka raungannya sampai ke
Sungai Furat dan Nil.
2.
Pembahasan
Pada tiga bait pertama terdapat isti’aarah tasriyyah dan isti’aarah
makniyyah. Pada bait pertama, pena (kata ganti pada lafaz lisaanuhu)
diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan disyaratkan
dengan salah satu sifat khasnya, yaitu lidah. Jadi, isti’aarahnya adalah
isti’aarah makniyyah. Tinta diserupakan dengan gelap karena sama-sama hitam dan
dipinjamkan lafaz yang menjadi musyabbah bih sebagai musyabbah untuk menjadi
isti’aarah tashrihiyyah. Kertas diserupakan dengan siang karena sama-sama
putih, lalu lafaz yang menjadi musyabbah bih dipinjamkan sebagai musyabbah
untuk menjadi isti’aarah tashrihiyyah.
Pada bait kedua, Saifud-Daulah disrupakan
dengan matahari dan bulan karena sama-sama berkedudukan tinggi dan jelas.
Kemudian lafadz yang menjadi musyabbah bih, yakni asy-syams dan al-badr
dipinjam sebagai musyabbah untuk membuat isti’aarah tashrihiyyah pada kedua
kata itu. Orang-orang yang dibawahnya diserupakan dengan bintang-bintang yang tersembunyi
dan bintang yang jauh karena sama-sama kecil dan tidak jelas. Kemudian lafadz
yang menjadi musyabbah bih itu dipinjam sebagai musyabbah untuk membuat
isti’aarah tashrihiyyah pada kedua kata tersebut.
Pada bait ketiga, perempuan diserupakan
dengan tuak babil. Kemudian musyabbah bihnya dibuang dan disyaratkan dengan
salah satu sifatnya, yakni kata ‘asyiqat-hu (rindu kepadanya) untuk membuat
isti’aarah makniyyah.
Bila kita perhatikan kembali pembuatan
isti’aarah di atas, maka akan kita temukan bahwa dalam pembuatan isti’aarah
tashrihiyyah kita hanya meminjam lafadz yang menjadi musyabbah bih untuk
menggantikan musyabbah, dan dengan langkah ini isti’aarah nya sudah sempurna.
Dalam membuat isti’aarah makniyyah kita cukup membuang musyabbah bih; sebagai
isyaratnya kita tetapkan salah satu sifatnya, dan dengan langkah ini isti’aarah
juga telah sempurna. Bila kita perhatikan lagi, maka lafaz-lafaz isti’aarahnya
bukan lafaz musytaq (dibentuk dari kata dasar), melainkan kata jamid
(kata benda yang tidak memiliki kata dasar). Isti’aarah yang demikian disebut
isti’aarah ashliyah.
Selanjutnya kita perhatikan kedua contoh
berikutnya. Maka akan kita temukan bahwa kedunya mengandung isti’aarah
tashrihiyyah. Dalam pembuatannya adalah berhentinya kemarahan diserupakan
dengan diam karena sama-sama tenang, lalu lafadz yang menjadi musyabbah bih,
yakni as-sakut (diam) dipinjam sebagai ganti musyabbah, yaitu selesainya
kemarahan, lalu dari kata dasar as-sakut dibentuk kata kerja, yaitu sakata
dengan makna inta-haa ( selesai ).
Sampainya raungan singa ke wilayah Sungai
Farut diserupakan dengan sampainya air karena sama-sama mencapai tujuan. Lalu
lafadz yang menjadi musyabbah bih, yaitu kata warada, dipinjam sebagai
ganti musyabbah, yaitu sampainya suara. Jadi, kata warada bermakna washala.
Bila kita bandingkan pembuatan kedua
isti’aarah terakhir ini dengan pembuatan isti’aarah sebelumnya, maka kita
dapatkan bahwa pembuatan isti’aarah yang kedua ini tidak hanya dengan meminjam
musyabbah bih sebagai ganti musyabbah, sebagaimana cara pembuatan
isti’aarah-isti’aarah sebelumnya, melainkan lebih dari itu, yaitu membentuk
kata lain dari kata dasar yang menjadi musyabbah bih itu, dan lafaz-lafaz
isti’aarah jenis kedua ini semuanya musytaq, bukan jamid.
Isti’aarah yang demikian disebut sebagai isti’aarah taba’iyah karena
fungsinya dalam bentuk musytaq sama dengan fungsinya dalam bentuk mashdar
( kata dasar ).
Bila kita kaji lebih kembali kedua contoh
terakhir, akan kita dapatkan pengetahuan baru. Pada contoh pertama terdapat
kata-kata walamma sakata ‘an Musaa al-ghadhabu. Pada kata-kata ini al-ghadhab (kemarahan) dapat diserupakan
dengan manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan dengan salah
satu sifatnya, yaitu sakata (diam) sehingga dalam kata al-ghadhab
pada isti’aarah makniyyah. Pada contoh kedua terdapat kata-kata waraadal-furaata
za’iiruhuu (maka raungannya sampai ke wilayah sungai furat). Padanya kata az-za’iir
(raungan) dapat diserupakan dengan hewan, lalu dibuang dan diisyaratkan
dengan salah satu sifatnya, yaitu kata warada. Dengan demikian, kata za’iiruhuu
adalah isti’aarah makniyyah. Demikian hal-nya pada isti’aarah taba’iyyah,
karinah-nya dapat berupa isti’aarah makniyyah. Hanya saja kita tidak dapat
membuat isti’aarah kecuali pada salah satu isti’aarah (tashrihiyyah dan
makniyyah), tidak dapat pada keduanya.
3.
Kaidah-kaidah
-
Isti’aarah
disebut sebagai isti’aarah ashliyyah apabila isim (kata benda) yang dijadikan
isti’aarah berupa isim jamid.
-
Isti’aarah
disebut sebagai isti’aarah taba’iyyah apabila lafadz yang dijadikan isti’aarah
berupa isim musytaq atau fi’il ( kata kerja ).[1]
-
Karinah
pada isti’aarah taba’iyyah adalah makniyyah, namun bila isti’aarah taba’iyyah
ini diberlakukan pada salah satu dari keduanya, maka tidak dapat dibuat pada
yang lainnya.
BAB II
Penutup
A.
Kesimpulan
Isti’arah Asliyyah adalah isim yang dijadikan isti’arahnya (musta’ar)
berupa isim jamid.
“ Lafaz istiarah itu bila berupa isim
jenis, isti’arahnya dinamakan isti’arah asliyyah, dan apabila
lafaznya berupa fi’il atau isim sifat atau huruf,
dinamakan isti’arah taba’iyyah, seperti: kelakuan ahli tasawuf
mengatakan, bahwa ia kembali ke Zat yang memenuhi kebutuhan ”.
Karinah pada isti’aarah taba’iyyah adalah makniyyah, namun bila
isti’aarah taba’iyyah ini diberlakukan pada salah satu dari keduanya, maka
tidak dapat dibuat pada yang lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Maman Dzul Iman, Menyingkap Rahasia Balagah dalam Karya
Al-Barzanjiy,(Yogyakarta: DEEPUBLISH,2013),h.23.
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Al Balaghatul
Wadhihah,(Jakarta: Raudhah Press,2007),h.91.
Inidunia.com
[1] Pembagian isti’aarah menjadi ashliyyah dan taba’iyyah
itu dapat dilakukan terhadap isti’aarah tashiriyyah maupun makniyyah
No comments:
Post a Comment