Halaman Terbaru

Wednesday 29 March 2017

Makalah Bahasa Arab Tentang Isti'aarah Ashliyyah dan Taba'iyyah



BAB I
Pembahasan
 

A.   Isti’aarah Ashliyyah
Isti’arah Asliyyah adalah isim yang dijadikan isti’arahnya (musta’ar) berupa isim jamid.
تكون الاستعارة أصلية اذا كان الذي جرت فيه إسما جامد
Dalam sarah kitab Jauharul Maknun, bahwasannya Isti’arah Asliyyah adalah:
ان كان المستعار إسم جنس فالاستعارة أصلية
“Apabila musta’arnya berupa isim jenis, maka disebut Isti’arah Asliyyah”.
B.   Isti’aarah Taba’iyyah
Dalam Kitab Jauharul Maknun diterangkan bahwa majaz isti’arah ditinjau dari segi lafaznya adalah :
و اللفظ إن جنسا فقل أصلية #  وتبعية لدى الوصفية
 والفعل والحرف كحال الصوفى #  ينطق أنه المنيب الموفى
“ Lafaz istiarah itu bila berupa isim jenis, isti’arahnya dinamakan isti’arah asliyyah, dan apabila lafaznya berupa fi’il atau isim sifat atau huruf, dinamakan isti’arah taba’iyyah, seperti: kelakuan ahli tasawuf mengatakan, bahwa ia kembali ke Zat yang memenuhi kebutuhan ”.

C.   Pembagian Isti’aarah Ashliyyah dan Taba’iyyah
1.     Contoh-contoh
a.     Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati kalam:
يَمُجُّظَلاَمًافِى نَهَارٍلِسَا نُهُ ۞   وَيَفْهَمُ عَمَّنْ قَالَ مَالَيْسَ يَسْمَعُ
Lidah pena itu meludahkan kegelapan di siang hari dan ia paham apa-apa yang dikatakan seseorang tanpa melalui pendengaran.
b.     Ia berkata ketika berbicara dengan Saifud-Daulah:
أُحِبُّكَ يَا شَمْسَ الزَّمَانِوَبَدْرَهُ  ۞  وَإِنْ لاَمَنِى فِيْكَ السُّهَا وَالْفَرَاقِدُ
Aku cinta kamu, wahai matahari dan bulan zaman ini, sekalipun bintang-bintang yang samar dan yang jauh mencaci-makiku karena menyukaimu.





c.      Al-Ma’arri bersyair dalam ratapannya:
فَتًى عَشِقَتْهُ الْبَابِلِّيَةُ حِقْبَةً  ۞ فَلَمْ يَشْفِهَامِنْهُ بِرَسْفٍ وَلاَلَشْمِ
Seorang pemuda yang mencintai tuak Babil, di suatumasa kerinduannya  tidak akan dapat disembuhkan oleh kecupan dan ciuman.
d.     Allah SWT. Berfirman:
$£Js9ur |Ms3y `tã ÓyqB Ü=ŸÒtóø9$# xs{r& yy#uqø9F{$# ( Îûur $pkÉJyó¡èS Wèd ×puH÷quur tûïÏ%©#Ïj9 öNèd öNÍkÍh5tÏ9 tbqç7ydötƒ ÇÊÎÍÈ  
Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luluh (taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. (QS. Al-A’raf: 154)
e.      Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati singa:
وَرْدٌإِذَاوَرَدَالْبُحَيْرَةَشَارِبًا ۞  وَرَدَالْفُرَاتَزَئِيْرُهُوَالنِّيْلَا
Apabila si merah itu datang ke danau (thabriyah) untuk minum, maka raungannya sampai ke Sungai Furat dan Nil.
2.     Pembahasan
Pada tiga bait pertama terdapat isti’aarah tasriyyah dan isti’aarah makniyyah. Pada bait pertama, pena (kata ganti pada lafaz lisaanuhu) diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan disyaratkan dengan salah satu sifat khasnya, yaitu lidah. Jadi, isti’aarahnya adalah isti’aarah makniyyah. Tinta diserupakan dengan gelap karena sama-sama hitam dan dipinjamkan lafaz yang menjadi musyabbah bih sebagai musyabbah untuk menjadi isti’aarah tashrihiyyah. Kertas diserupakan dengan siang karena sama-sama putih, lalu lafaz yang menjadi musyabbah bih dipinjamkan sebagai musyabbah untuk menjadi isti’aarah tashrihiyyah.
     Pada bait kedua, Saifud-Daulah disrupakan dengan matahari dan bulan karena sama-sama berkedudukan tinggi dan jelas. Kemudian lafadz yang menjadi musyabbah bih, yakni asy-syams dan al-badr dipinjam sebagai musyabbah untuk membuat isti’aarah tashrihiyyah pada kedua kata itu. Orang-orang yang dibawahnya diserupakan dengan bintang-bintang yang tersembunyi dan bintang yang jauh karena sama-sama kecil dan tidak jelas. Kemudian lafadz yang menjadi musyabbah bih itu dipinjam sebagai musyabbah untuk membuat isti’aarah tashrihiyyah pada kedua kata tersebut.
     Pada bait ketiga, perempuan diserupakan dengan tuak babil. Kemudian musyabbah bihnya dibuang dan disyaratkan dengan salah satu sifatnya, yakni kata ‘asyiqat-hu (rindu kepadanya) untuk membuat isti’aarah makniyyah.
     Bila kita perhatikan kembali pembuatan isti’aarah di atas, maka akan kita temukan bahwa dalam pembuatan isti’aarah tashrihiyyah kita hanya meminjam lafadz yang menjadi musyabbah bih untuk menggantikan musyabbah, dan dengan langkah ini isti’aarah nya sudah sempurna. Dalam membuat isti’aarah makniyyah kita cukup membuang musyabbah bih; sebagai isyaratnya kita tetapkan salah satu sifatnya, dan dengan langkah ini isti’aarah juga telah sempurna. Bila kita perhatikan lagi, maka lafaz-lafaz isti’aarahnya bukan lafaz musytaq (dibentuk dari kata dasar), melainkan kata jamid (kata benda yang tidak memiliki kata dasar). Isti’aarah yang demikian disebut isti’aarah ashliyah.
     Selanjutnya kita perhatikan kedua contoh berikutnya. Maka akan kita temukan bahwa kedunya mengandung isti’aarah tashrihiyyah. Dalam pembuatannya adalah berhentinya kemarahan diserupakan dengan diam karena sama-sama tenang, lalu lafadz yang menjadi musyabbah bih, yakni as-sakut (diam) dipinjam sebagai ganti musyabbah, yaitu selesainya kemarahan, lalu dari kata dasar as-sakut dibentuk kata kerja, yaitu sakata dengan makna inta-haa ( selesai ).
     Sampainya raungan singa ke wilayah Sungai Farut diserupakan dengan sampainya air karena sama-sama mencapai tujuan. Lalu lafadz yang menjadi musyabbah bih, yaitu kata warada, dipinjam sebagai ganti musyabbah, yaitu sampainya suara. Jadi, kata warada bermakna washala.
     Bila kita bandingkan pembuatan kedua isti’aarah terakhir ini dengan pembuatan isti’aarah sebelumnya, maka kita dapatkan bahwa pembuatan isti’aarah yang kedua ini tidak hanya dengan meminjam musyabbah bih sebagai ganti musyabbah, sebagaimana cara pembuatan isti’aarah-isti’aarah sebelumnya, melainkan lebih dari itu, yaitu membentuk kata lain dari kata dasar yang menjadi musyabbah bih itu, dan lafaz-lafaz isti’aarah jenis kedua ini semuanya musytaq, bukan jamid. Isti’aarah yang demikian disebut sebagai isti’aarah taba’iyah karena fungsinya dalam bentuk musytaq sama dengan fungsinya dalam bentuk mashdar ( kata dasar ).
     Bila kita kaji lebih kembali kedua contoh terakhir, akan kita dapatkan pengetahuan baru. Pada contoh pertama terdapat kata-kata walamma sakata ‘an Musaa al-ghadhabu. Pada kata-kata ini  al-ghadhab (kemarahan) dapat diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifatnya, yaitu sakata (diam) sehingga dalam kata al-ghadhab pada isti’aarah makniyyah. Pada contoh kedua terdapat kata-kata waraadal-furaata za’iiruhuu (maka raungannya sampai ke wilayah sungai furat). Padanya kata az-za’iir (raungan) dapat diserupakan dengan hewan, lalu dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifatnya, yaitu kata warada. Dengan demikian, kata za’iiruhuu adalah isti’aarah makniyyah. Demikian hal-nya pada isti’aarah taba’iyyah, karinah-nya dapat berupa isti’aarah makniyyah. Hanya saja kita tidak dapat membuat isti’aarah kecuali pada salah satu isti’aarah (tashrihiyyah dan makniyyah), tidak dapat pada keduanya.
3.     Kaidah-kaidah
-         Isti’aarah disebut sebagai isti’aarah ashliyyah apabila isim (kata benda) yang dijadikan isti’aarah berupa isim jamid.
-         Isti’aarah disebut sebagai isti’aarah taba’iyyah apabila lafadz yang dijadikan isti’aarah berupa isim musytaq atau fi’il ( kata kerja ).[1]
-         Karinah pada isti’aarah taba’iyyah adalah makniyyah, namun bila isti’aarah taba’iyyah ini diberlakukan pada salah satu dari keduanya, maka tidak dapat dibuat pada yang lainnya.


BAB II
Penutup

A. Kesimpulan
          Isti’arah Asliyyah adalah isim yang dijadikan isti’arahnya (musta’ar) berupa isim jamid.
“ Lafaz istiarah itu bila berupa isim jenis, isti’arahnya dinamakan isti’arah asliyyah, dan apabila lafaznya berupa fi’il atau isim sifat atau huruf, dinamakan isti’arah taba’iyyah, seperti: kelakuan ahli tasawuf mengatakan, bahwa ia kembali ke Zat yang memenuhi kebutuhan ”.
Karinah pada isti’aarah taba’iyyah adalah makniyyah, namun bila isti’aarah taba’iyyah ini diberlakukan pada salah satu dari keduanya, maka tidak dapat dibuat pada yang lainnya.



DAFTAR
PUSTAKA

Maman Dzul Iman, Menyingkap Rahasia Balagah dalam Karya Al-Barzanjiy,(Yogyakarta: DEEPUBLISH,2013),h.23.

Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Al Balaghatul Wadhihah,(Jakarta: Raudhah Press,2007),h.91.
Inidunia.com


[1] Pembagian isti’aarah menjadi ashliyyah dan taba’iyyah itu dapat dilakukan terhadap isti’aarah tashiriyyah maupun makniyyah

No comments: