Suku Baduy adalah salah satu suku yang sarat dengan kerajinan tangan. Kreativitas mereka tidak perlu lagi dipertanyakan, salah satunya hasil karya mereka yang berbentuk kain tenun. Terbukti dengan akan diadakannya Pameran Banten Expo yang bertempat di Bumi Serpong Damai (BSD) City, Tangerang pada Jum’at, 1 Oktober 2010.
Ciri khas suku Baduy yang tinggal di pegunungan Kendeng, desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten Selatan adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh karuhun mereka. Salah satu tradisi yang masih bertahan adalah menenun dan cara berbusana. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa busana suku Baduy saat ini merupakan bentuk busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam.
Wilayah desa Kanekes merupakan tanah adat suku Baduy, seluruh penduduknya adalah suku Baduy dan tidak bercampur dengan penduduk luar. Mereka bertutur dalam bahasa Sunda Buhun atau Sunda Kuno, dengan ciri sub dialek Banten. Ciri bahasa yang digunakan suku Baduy adalah tidak memiliki tinggi-rendah bahasa dengan aksen tinggi dalam lagu kalimat. Letak perkampungan biasanya berada di celah-celah bukit dan lembah yang ditumbuhi pepohonan besar. Jarak antara satu kampung dengan kampung lainnya berjauhan. Penduduknya menjaga, melindungi pohon dan hutan di sekitarnya dengan baik.
Peraturan adat sangat menentukan dalam sikap hidup suku Baduy, baik untuk keseimbangan hidup antar sesama maupun kelestarian kehidupan alamnya. Kehidupan sehari-harinya bersahaja. Barangbarang “modern” seperti sabun, kosmetik, piring, gelas dan peralatan pabrik dilarang dipakai. Tak ada listrik, radio dan televisi. Semuanya itu tabu (pamali).
Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, disebut Panamping yang tinggal di 36 kampung luar dan Baduy Dalam, disebut Kajeroan yang tinggal di tiga kampung utama. Baduy Dalam, mengelompok menurut asal keturunan (tangtu) mereka, yaitu tangtu Cibeo, tangtu Cikertawana dan tangtu Cikeusik.
Dalam pandangan suku Baduy, mereka berasal dari satu keturunan, yang memiliki keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja. Baduy Dalam merupakan paroh masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Baduy Dalam, untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang tabu.
Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Kelengkapan busana bagi kalangan kali-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana laki-laki belum lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri dan dilakukan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemuduan dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah.
Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Dari model, potongan dan cara berbusananya saja, secara sepintas orang akan tahu bahwa itu adalah suku Baduy. Memang, pakaian bagi suku Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan lebih bersifat sebagai identitas budaya yang melekatnya. Mereka percaya bahwa semuanya itu merupakan warisan yang dituturkan oleh karuhun atau nenek moyang mereka untuk dijaga.
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir
serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu
dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan
bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka
masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali
pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala
Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap
kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi
dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga,
mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan
untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin
langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam
ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka
hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah
meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut.
Pakaian Suku Baduy
Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat
untuk melindungi diri dan menunjukan citra diri terhadap orang lain.
Dalam hal ini masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah
memikirkan dalam hal berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah
suku yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua
kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan
baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya
mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah
laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun
ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar,
model dan warnanya saja.Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap
mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak
terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah
mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar
seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial,
tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis
kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang
sangsang,serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena
cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju
sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja.
Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong
baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya
menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun
harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya
menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada
bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan
selembar kain. Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat
kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka
yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy
yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna
suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna
hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya
terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai.
Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak
diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg
ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari
warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka
sudah terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat
penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian
selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta
dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di
pundaknya.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun
Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan
dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam
sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini
biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah
menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para
gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita
Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman,
karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam
adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri
yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian
dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan
warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua
dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam
dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang
dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual
tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat
setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung,
kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang
dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja,
yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Mata Pencaharian Suku Badui
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan
yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan
kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang
masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada
penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya
interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan
mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan
jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan
tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya
dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy
menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi
orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
ANGKLUNG & TARIAN
Setelah duduk sebentar, acara penyerahan bingkisan
kepada kekolot kampung dimulai. Saya menyerahkan 4 karton box berisi mie, ikan
asin, garam dapur dan terasi. Pak Salik menerima bingkisan tersebut, di halaman
rumah yang menjadi jalan di depan rumah-rumah.
Angklung
Kampung Gajeboh Baduy Luar
Kemudian acara diteruskan dengan atraksi angklung dan
tarian Baduy Luar oleh 12 orang warga. Angklungnya terbuat dari bambu dengan
ukuran yang lebih panjang dan diberi rumbai-rumbai di ujungnya. Suaranya
berbeda dengan suara angklung yang biasanya. Pak Salik terlihat yang paling
serius menari dan bergerak menyesuaikan suara angklung. Acara berikutnya makan
siang bersama.
No comments:
Post a Comment